• Post Title

    Category

    Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry.Lorem Ipsum has been the industry's standard dummy text ever since the 1500s,when an unknown printer...

    Buton

  • RUMPUT KERING


    Rerimbun rumput hijau mengelilingiku, katamu, tapi aku malah menguning. Dan mungkin engkau terlalu paham akan hatiku yang memeras darah, akan kakiku yang meniti seulas benang. Tapi entah kenapa, masih juga kau bertanya.

    "Ada apa?" Demikian yang menguar dari mulutmu tadi, dilengkapi tatapan yang ingin meneduhkan. Tapi bukankah itu tiada gunanya? Sanggupkah itu menghijaukan rumputku yang menguning?

    "Jangan tanya, karena itu menyakitkan."

    Dibutuhkan ribuan menit untuk engkau terangguk mengerti, bahwa ini masa-masa sulitku. Dibutuhkan ratusan jam untuk engkau terhela dan percaya, bahwa aku berair mata. Dan tahukah kau, aku tidak butuh puluhan kebahagian untuk sekarang lengkungkan senyum. Cukup satu. Tapi itu pun terlampau sukar. Apa karena garis tanganku yang terlampau rumit, berdetik lalu aku menggumam.

    "Pasti bukan," sanggahmu. "Takdir tidak terletak di garis tangan, tapi terletak pada seberapa tinggi usahamu."

    "Usaha?" Nyaris aku tertawa. Prihatin padamu, pada diriku sendiri, dan kata-kata itu terdengar lucu. Barangkali aku gila. Tapi sebijak apa pun engkau bicara, itu tidak membantu. Aku cuma butuh satu. Rumputku menghijau. Dan tak akan ada keajaiban yang menggelontor dari kata bijakmu, sekalipun kau merakitnya dengan mutiara yang mengilau.

    "Sabarlah," ungkapmu menghibur.

    Aku merunduk. "Bintang tidak pernah menepati janji," cetusku.

    "Janji?"

    "Harusnya ia muncul di saat mendung, bukan di saat awan tersapu."

    "Oh. Baiklah. Aku tahu."

    "Tapi mungkin begitulah dunia bintang. Penuh kemunafikan," lanjutku dengan suara bergetar. Geram, walau tidak mendendam.

    "Tapi mungkin saja tidak. Mungkin tidak semua bintang seperti itu."

    Aku tengadah, menilik langit yang diinvasi bintang-gemintang, terang, gemilang. Tapi satu yang nyaris aku lupa, ia teramat menjulang. "Mungkin ada, tapi cuma satu dari seribu."

    "Artinya ini cuma soal waktu, kan?"

    Kutatap manik matamu, tidak setuju. "Waktu? Aku tidak bisa terus menunggu. Dahiku kian lama akan kian berkerut dihempas detik. Bahkan sekarang aku sudah tercekik."

    Kau membisu, terkelu.

    "Bintang terlalu indah," ucapku pilu, "dan karena itu ia terlalu jauh dariku."

    "Andai aku mampu, aku pasti jadi bintang untukmu."

    "Jangan," tukasku. "Bintang bisa dengan mudah menghilang tanpa jejak, seperti harapan-harapan itu. Aku mau kau tetap ada, tidak pergi ke mana-mana. Karena kau jiwaku, sahabatku paling lestari."

    "Tapi aku lemah," balasmu lirih.

    "Itulah yang membuat aku membencimu. Jiwa, tapi kadang tidak bernyawa."

    "Andai bisa, aku mau jadi tubuh saja. Dan kau yang jadi jiwa."

    "Jangan," sergahku. "Cukup aku saja yang terlihat oleh orang-orang sebagai rumput kuning. Kau harus selamanya tersembunyi, agar mereka mengira rumputmu selalu hijau."

    Kau memandangku sendu, terharu. "Itulah yang membuat aku membencimu."

    Parasku berekspresi melecehkan. "Kenapa? Aku terlalu baik?"

    "Ya. Bahkan kau lebih lembut dari aku."

    "Lupakan." Tanganku mengibas jengah.

    "Jadi?"

    "Aku mau menyeberang lagi," sahutku berat. Segumpal kegamangan menjalari darahku, tapi salutnya aku berontak telak, membersihkan nadi-nadiku dari ego yang mengotori, dari racun yang jika tidak diperangi akan menumbangkanku hingga mati. Rumputku telah menguning, itu lebih dari sekadar parah, berstatus separuh mati. Dan aku ngeri pada kematian yang sejati.

    "Kau tidak bosan?"

    "Di depan sana, Tuhan memberiku satu kesempatan baru. Barangkali yang terakhir, jadi mana mungkin aku tidak maju?"

    "Bagaimana kalau kembali gagal?"

    "Entahlah." Napasku mengembus lelah. "Kau tahu? Setiap menyeberang, aku selalu merasa takut. Kendaraan-kendaraan itu terlalu liar. Dan mungkin, aku terlalu lamban. Tapi apa pun itu..."

    "Kau pasti maju, tetap maju," sambarmu gigih.

    Aku terpana. "Ya. Dan sekecil apa pun peluang untuk aku selamat, aku tidak peduli. Akan aku gantungkan segenap harapanku pada peluang itu."

    "Biar kuanalisis," ujarmu sok pintar. "Kalau menurutku, kau tak butuh keajaiban atau bintang. Cukup keberanian."

    "Memang. Meski demi keberanian itu, aku harus berjudi, mempertaruhkan kelangsungan hidupku."

    "Kau hebat."

    Ludahku tertelan getir. "Mungkin tidak akan selamanya. Karena aku manusia."

    "Tegarlah," pintamu. "Kalaupun nanti kau menangis lagi, aku akan ada bersamamu."

    "Tentu saja. Itu sudah semestinya," timpalku sebal.

    "Dan kalau nanti kau menangis lagi, jangan menyesal. Karena setidaknya, kau telah mencoba."

    Sebal itu berganti kesima. Jiwa memang senantiasa melindungi, tak berhenti sekalipun mataku memeras tangis, hatiku memeras darah, kakiku meniti seulas benang atau meniti setapak duri. Terima kasih.

    Dan terima kasih atas percakapan kita di malam ini, di tengah hamparan taman beraura sunyi. Di bawah kawanan bintang yang mengerjap, di bawah bulan perak yang mengerlap. Tidak, aku tidak percaya bulan. Ia pun tak akan menepati janji.

    Rerumpun rumput hijau mengerubungiku, kata mereka, tapi aku malah menguning. Dan hanya aku yang benar-benar mengerti alasannya, hanya jiwaku yang paling peduli. Kini, kami sama-sama masuk ke dalam kamar. Berdoa pada Tuhan. Mengiba berulang-ulang laksana merapal mantra. Agar rumput kuning itu tak semakin mengering. Terselamatkan. Terhijaukan.

    karya : sky ree

    0 komentar:

    Posting Komentar

    rss
    rss


    Copyright © 2010 DUNIA MAYA All rights reserved.Powered by Blogger.